Nurani


Bulan Nov/Des 2007 lalu, pada satu halaman penuh surat kabar nasional terpasang iklan besar sebuah stasiun televisi berlogo matahari jingga yang berhasil meraih audience share tertinggi untuk beberapa minggu terakhir. Dengan bangga mereka mencantumkan nama2 acara judul2 sinetron dan gambar2 dari tayangan yang menjadi andalan mereka.

Beberapa minggu kemudian muncul lagi iklan yang mirip, tapi kali ini bintang iklannya adalah stasiun televisi lain yang berlambang ikan terbang. Mereka meraih kembali posisi numero uno dengan mengandalkan program acara reality show, yaitu acara2 yang merupakan gabungan dari kontes menyanyi para artis atau tokoh bukan penyanyi dan lawakan presenter plus jurinya.

Rating dan share memang menjadi hal yang seolah di ‘dewa’ kan stasiun tv. Karena teorinya, makin tinggi rating suatu acara, maka makin banyaklah pemasang iklan. Semakin banyak iklan maka semakin besar pemasukan, sehingga menguntungkan perusahaan. Benarkah demikian?

Teori bisnis mengajarkan:

“pasar adalah esensi bagi dunia usaha, maka hanya pengusaha yang berorientasi pasarlah yang akan sukses”

Namun pasar tidaklah tunggal, ia terbagi2 menurut beberapa kategori. Untuk industri televisi di Indonesia, AGBNielsen yang menjadi rujukan (utama) untuk mengukur rating dan audiance share membagi pasar penonton televisi menurut kategori A B C D E. A berarti kaya sampai sangat kaya raya, B nyaris kaya, C menengah, D miskin, dan E sangat miskin. Hanya saja, pada tulisan ini saya tidak akan membahas tentang hal tersebut, bagi yang berminat mungkin bisa berkunjung ke blog-nya Glenn Marsalim yang pernah memprotes mengulas secara umum dan menarik ttg pembagian kasta ini.

Meraih rating tinggi memang hampir selalu berbanding lurus dengan naiknya pemasukan iklan. Tetapi secara keseluruhan jika income tersebut di potong biaya produksi maka belum tentu tayangan dengan rating tinggi selalu berarti menguntungkan buat perusahaan. Salah berhitung bisa2 malah membuat rugi, seperti yang telah dialami oleh televisi ‘cap ikan terbang’ yang sampai akhir tahun 2007 lalu masih merugi ratusan milyar rupiah. Beritanya silahkan cek disini dan disini.

Sehingga, untuk industri televisi saya rasa tidaklah selalu benar bahwa hanya dengan mengikuti selera pasar – untuk mengejar rating – perusahaan akan menuai untung. Atau dengan kata lain, rating dan share yang tinggi tidak selalu memiliki korelasi positif dengan keuntungan perusahaan (revenue). Padahal tanpa keuntungan yang memadai, tak mungkin suatu perusahaan televisi dapat terus bertahan dan melakukan siaran. Kecuali bila pendiriannya dimaksudkan sebagai bisnis nirlaba (adakah?!).

“tidak selalu benar bahwa hanya dengan mengikuti selera pasar – untuk mengejar rating- perusahaan akan menuai untung”

Hasil rating AGBNielsen juga tidak memiliki hubungan dengan kualitas suatu acara. Acara yang secara kualitas di nilai bagus dalam arti sesuai dengan norma-norma masyarakat dan memiliki misi pencerahan belum tentu memiliki rating yang baik. Yang sering terjadi justru sinetron percintaan dengan kualitas apa adanya, tayangan mistis dengan dukun2nya yang membodohkan, maupun reality show dengan kadar pendidikan rendah, yang meraih rating tinggi.

Banyak pihak tidak percaya, melakukan protes dan menggugat hasil riset AGBNielsen. Tapi di pihak lain, ada pengelola stasiun tv yang berbunga2 dan bangga karena tayangan mereka meraih rating tinggi. Padahal bisa jadi justru tayangan tersebut yang membuat mata para pemerhati pendidikan mendelik marah.

Protes dan gugatan itu di jawab oleh AGBNielsen dengan argumentasi bahwa riset mereka di dasarkan pada metode kuantitatif, bukan kualitatif. Hasil dari survei ini diperlukan oleh industri untuk mengetahui jumlah pemirsa, profil pemirsa, berapa biaya dalam beriklan untuk menjangkau sejumlah pemirsa tertentu, dsb.

Informasi2 lain yang menyangkut kualitas program, alasan responder untuk menonton program tertentu, gaya hidup, perilaku belanja, dsb. tidak bisa diungkap. Untuk itu AGBNielsen menyerahkannya pada industri (televisi) untuk melakukan riset sendiri secara kualitatif untuk melengkapi hasil riset mereka.

***

Terhadap fenomena tayangan ‘terserah pasar’ ini, pihak yang sangat pro kebebasan berekspresi akan mengatakan:

“biarkan masyarakat sendiri yang menilai dan mem-filter..” atau
“biarkan saja.. nanti juga akan berlaku seleksi alam..” atau
“mumpung laku.. produksi jalan terus.. efek negatif? itukan bagaimana cara mereka menyikapinya saja..” dll…

Namun ada juga yang berpikiran lain, yaitu mereka yang masih punya cukup idealisme. Pihak ini berpendapat bahwa kebebasan itu memang penting, tapi tetap harus ada norma-norma yang membatasi agar tidak kebablasan.

Pengelola televisi pun demikian, ada yang ikut saja pada arus selera pasar dan ada juga yang masih memiliki cukup idealisme. Yang ikut arus pasti akan terus atau latah membuat program2 acara yang memiliki tema sama atau mirip dengan acara yang sedang ber-rating tinggi. Sedangkan yang memiliki cukup idealisme akan berpikir secara kreatif untuk membuat acara tandingan yang bisa menjadi alternatif tontonan yang memiliki nilai tambah bagi pemirsanya.

Akhirnya hari Ahad 16 Desember lalu atas saran seorang teman via email (Mellita) saya menghubungi Caroline Telkomsel (116). Mba’ Caroline memberitahu bahwa untuk menghentikan pencurian pulsa oleh content provider 9122 saya hanya perlu mengirimkan SMS yg isinya ‘OFF’ saja ke 9122.

Gak pake lama, saya langsung kirim SMS ‘OFF’ dan kemudian mendapat reply singkat: “Anda telah berhenti berlangganan sms push di 9122”.

Mujarab… keesokan harinya sampai sekarang saya tidak menerima sms lagi dari si pencuri pulsa ini… Alhamdulillah 🙂

Oya, ternyata content provider 9122 ini termasuk perusahaan nakal, karena hasil dari tanya jawab saya dengan mbah google menghasilkan berita ini:

BRTI Akan Panggil Penyedia Konten Nakal
Rabu, 05 Desember 2007 | 19:07 WIB
TEMPO Interaktif, Jakarta:

Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) akan memanggil empat penyedia konten (content provider) telepon seluler pekan depan. Sebab empat penyedia konten itu tidak mencantumkan nama dan nomor call center yang jelas.

Anggota BRTI, Heru Sutadi, mengatakan empat penyedia konten itu adalah 9200, 9122, 9400, dan 9877. Penyedia konten ini juga melakukan aktifasi tanpa persetujuan konsumen. Hal ini melanggar regulasi yang mengatur fitur berbayar.

Layanan berbayar, kata Heru, harus mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari konsumen. Apalagi nilai layanan empat penyedia konten itu tidak sesuai dengan konten yang diterima. Harga per pesan singkat mencapai Rp 2700, tapi isinya tidak sesuai.

“Kami akan minta klarifikasi mereka,” kata Heru di Jakarta hari ini. Selain itu, operator telepon seluler yang memfasilitasi layanan empat penyedia konten itu juga akan dipanggil. “Kami ingin tahu mengapa mereka menayangkan konten seperti itu,” kata dia.

============================================

Selasa 11 Desember 2007 pukul 07.45 saya masih menerima SMS dari 9122. Kali ini isinya sbb:

“Siapa yg mngajak pd jln petunjuk utknya pahala sebesar pahala org yg mngikutinya. Siapa yg mengajak pd jln kesesatan utknya dosa sebesar org yg mngikutinya.”

Saya yakin semua akan setuju mengatakan bahwa isi sms tersebut bagus, mengajak kita pada kebaikan. Sip banget kan? Dan mungkin pihak penyedia layanan SMS 9122 akan berfikir bahwa mereka telah dan sedang berbuat kebaikan dengan menyediakan layanan SMS tersebut.

Namun … Bagaimana jika SMS tersebut di kirimkan dengan mengutip pulsa kita sebesar Rp 1100,-/sms per hari, dan – ini yang parah – saya tidak pernah merasa melakukan registrasi untuk layanan tersebut..?

Hmm ok.. saya masih mencoba untuk sabar.

Sehari sebelumnya, yaitu Senin sekitar jam 09.54 saya mencoba mengirimkan SMS ke 9122 yang isinya ‘UNREG’ saja. Ini saya lakukan karena saya tidak tahu apa keyword untuk menghentikan layanan tersebut. Pancingan ini berhasil, saya mendapat reply yang isinya pemberitahuan keyword salah dan informasi keyword ‘MENU’ untuk mendapatkan info lebih lanjut.

Selanjutnya saya kirim SMS ‘MENU’ ke 9122 dan mendapat reply berikut:

“Layanan 9122 yg tersedia: 1. REG QURAN 2. REG HUMOR 3. REG CINTA 4. REG PS. Pilih salah satu layanan yg tersedia, krm ke 9122. Cth: REG HUMOR”

Saya berfikir,  karena SMS yang saya terima isinya tentang kajian Islam, maka untuk menghentikan layanan tersebut saya harus mengirimkan SMS ke 9122 dengan isi ‘UNREG QURAN’, walaupun saya tidak pernah melakukan registrasi sebelumnya.

Tak lama kemudian saya mendapat reply yang isinya:

“Anda sdh tdk terdaftar lg di kajian & intisari Quran. Ktk REG QURAN, sms ke 9122 utk kembali gabung & raih hp islami tiap harinya & paket umroh tiap bulannya!”

Berhasil?! Ternyata TIDAK sodara-sodara.. karena hari Selasa saya masih menerima SMS seperti yang saya ceritakan diatas. Dan berturut-turut sejak Senin itu sampai Kamis ini saya masih terus menerima SMS dari 9122, walaupun sudah TIGA KALI saya mengirimkan ‘UNREG QURAN’ dan selalu mendapat reply seperti diatas.

Malam ini pulsa Simpati saya tinggal Rp 305,-. Sengaja tidak diisi ulang dulu, saya mau tahu apakah besok pagi mereka masih mengirimkan SMS kajian itu lagi. Kalo iya.. keterlaluan juga ya.. karena artinya pulsa saya akan jadi minus 795 rupiah :-D.

Oya, tentang hal ini saya sudah mengirimkan keluhan ke BRTI (Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia).

Setelah sejak lebaran kemarin blom nge-blog, akhirnya jari2 ini gatal juga untuk nulis lagi. Pemicunya adalah berita di detik.com tentang ajakan mba’ Mega pada petani untuk belajar internet.

Lhaa?! Untuk apa gerangan..? Agar petani dapat melihat dunia, dan bisa tahu harga pasar.

Waahh… kalo memang persis seperti itu saran mba’ Mega, yang saya rasakan dan pikirkan pertama kali adalah rasa kasihan pada para petani kita. Kok ya untuk bisa tahu harga beras, tomat, kol, terong, dan kawan2nya di pasar saja harus buka2 internet dulu. Lha wong untuk mikir beli pupuk saja sudah berat kok ya mesti di pusingkan lagi dengan hal2 yang berbau haitek.

Apa mba’ Mega gak ngeh kalo koneksi internet di Indonesia ini mahal?! Apa iya beliau gak tahu kalo infrastruktur untuk bisa internet-an di desa2 belum sepenuhnya tersedia? Lha wong di kota saja masih keteteran kok..

Saya bukan antipati pada sarannya.. bukan juga saya tidak ingin agar petani kita maju. Tapi dengan memberi saran seperti itu, saya merasa bahwa mba’ Mega belum paham apa yang sebenarnya di butuhkan petani. Mereka belum butuh INTERNET.

Yang utama mereka perlukan adalah INFORMASI. Dan saya pikir hal ini sudah di jalankan dengan baik oleh Radio Republik Indonesia (RRI). Jika saya tak salah, berita radio jam 8 malam pada bagian akhirnya selalu memberitakan tentang harga2 hasil pertanian yang dijual di pasar2 induk seluruh Indonesia. Petani cukup dengerin dan nyatet. Sederhana… mudah… dan murah.

***

Walaupun penting, tapi saat ini petani kita secara langsung masih belum memerlukan internet. Justru yang harus di berdayakan dengan internet itu adalah Dinas Pertanian di tiap2 daerah, karena salah satu fungsi yang mereka punya adalah melakukan bimbingan pemasaran hasil pertanian. Jadi Dinas Pertanian-lah yang harus selalu memantau harga di pasaran dunia dan memberikan informasi tersebut kepada petani di daerahnya masing2. Bukan petani yang di suruh langsung untuk memantau harga.

Hmm.. sudah ah.. kok saya jadi seperti sok jago gini.. pada intinya saya hanya heran saja dengan saran dari mantan dan calon Presiden RI ini kok..

Indonesia Raja, merdeka, merdeka
Tanahkoe, neg’rikoe jang koetjinta.
Indonesia Raja, merdeka, merdeka
Hidoeplah Indonesia Raja!

Geli rasanya pas denger Om Roy Suryo meng-klaim telah menemukan lirik ‘asli’ lagu kebangsaan Indonesia Raya. Heheheh.. kemana aja selama ini Om……?

Saya (dan ternyata juga banyak manusia Indonesia lainnya.. – ) sudah tahu sejak lama bahwa lirik Indonesia Raya itu ada 3 versi (stanza). Kebetulan nyokap di rumah lagi beres-beres buku di rak, dan ketemu buku Lagu-Lagu Nasional terbitan tahun 80-an akhir. Di buku itu pun tercetak lirik lagu Indonesia Raya dalam ketiga versi yang di klaim baru ditemukan oleh Om Roy.

Jadi.. gak bener ahh klaim-nya Om… 😀

Tapi rasanya kita perlu berterimakasih juga pada Om Roy nih.. karena heboh inilah banyak orang jadi lebih care lagi pada lagu kebangsaan kita, setelah pada Piala Asia kemarin banyak manusia Indonesia yang luar biasa ikhlas menyanyikannya di Senayan.

(more…)

Bengong sambil geleng2 kepala :-O
Itu adalah reaksi saya ketika membaca berita tentang aksi mereka yang menamakan diri Asosiasi DPRD Kabupaten seluruh Indonesia. Beberapa hari ini mereka berbondong2 ke Jakarta untuk mengadakan rapat nasional.

Wuuiihh… khueebattt euy!! Ada apa mereka rapat, di Jakarta pula? Untuk bantu korban banjir kah..?

Jika benar, mereka datang di saat yang tepat, karena hari2 ini jutaan rakyat Jakarta dan sekitarnya masih dilanda kesusahan akibat banjir dan ribuan petani di pantura Jawa Barat masih belum tahu mau berbuat apa karena sawah yang baru saja mereka tanami hancur akibat terendam banjir juga.

Ternyata saya harus tersenyum kecut bin pahit.. huehehehehe…….:P
(more…)

Long Road to Heaven.. sebuah karya film terbaru yang di produseri oleh Nia Danata dan di sutradarai oleh Enison Sinaro. Film yang mulai tayang 25 Januari 2006 di bioskop tanah air ini diproduksi bersama oleh Kalyana Shira Films (KSF) dengan TeleProductions International (TPI). Film ini bercerita tentang tragedi bom Bali.

Saya tidak hendak membahas tentang tragedi maupun tentang cerita di dalam film ini, karena saya belum menontonnya. Jikapun sudah nonton nanti belum tentu juga saya akan buat laporan pandangan matanya.. hehe..

Hal yang menarik perhatian saya adalah judulnya, “Long Road to Heaven”. Mmmh.. Jalan Panjang Menuju Surga.. sebuah kalimat yang membawa pikiran saya tentang bagaimana kita harus berjuang melewati rintangan dan cobaan agar kelak dianggap layak untuk masuk ke suatu tempat abadi dimana terhidang segala keindahan dan kenikmatan.
(more…)